Sabtu, 06 Juni 2009

Saham Dalam Negeri

DIVESTASI PT KPC MENJADI MASALAH NASIONAL

Pemerintah menetapkan kasus divestasi saham Kaltim Prima Coal (KPC) sebagai masalah nasional dan membentuk tim gabungan antar departemen. Ketuanya adalah Sekjen Departemen ESDM (Pertambangan), yang dalam satu bulan harus melaporkan hasilnya kepada tingkat menko, katanya Menko Polkam.

Ini perkembangan yang penting karena citra Indonesia sebagai tujuan investasi sudah sangat menurun oleh karena berbagai sebab. Investor baru dari Jepang mencemaskan berbagai pengaturan hubungan perburuhan, dan cukup sering adanya pemogokan liar. Kekurangan jaminan law and order menjadi kendala terbesar, dan kejadian yang penting dalam hal ini adalah bahwa Presiden Megawati Sukarnoputri mengeluhkannya di luar negeri setelah ia melihat keadaan di Cina yang sangat atraktip bagi investor asing. Bisa diharapkan bahwa Presiden akan mengutamakan penegakan law and order ini sesudah ia pulang. Maka peran Menko Polkam sangat penting.

PMA besar di bidang pertambangan menderita karena pelaksanaan otonomi daerah menimbulkan banyak persoalan baru. Antara lain dengan provinsi dan kabupaten yang kedua-duanya merasa berhak lebih menikmati hasil eksploatasi kekayaan alam di daerahnya. Inilah masalah utama KPC.

Sesuai isi kontraknya dengan pemerintah maka KPC harus mengadakan divestasi 51% dari sahamnya, yang pertama-tama harus ditawarkan kepada “pemerintah”, dan kalau fihak ini tidak berminat maka harus ditawarkan kepada fihak dalam negeri. Perjanjian itu ditandatangani di tahun 1982 sehingga mencerminkan iklim politik dan ideologi masa itu. Sekarang pandangan politik ini sedang berubah dan tidak mengutamakan lagi pemerintah sebagai investor. Investor asing pun sekarang lebih bebas.

“Pemerintah” pada saat itu adalah, dan hanya, pemerintah pusat. Pemerintah daerah belum masuk perhitungan di tahun 1982. Tetapi pemerintah pusat menyatakan tidak berminat membeli saham KPC ini.

Sekarang ini ada “rebutan” antara pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan beberapa kalangan swasta dalam negeri. Pemerintah provinsi memandang punya hak preferensial setelah pemerintah pusat menyatakan tidak berminat. Akan tetapi, sekarang pemerintah kabupaten (Kutai) juga menyatakan minatnya, lepas dari pemerintah provinsi. Maka timbul pertanyaan: menurut prinsip-prinsip otonomi daerah, apakah provinsi lebih penting daripada kabupaten? Sama sekali tidak terang.

Menjadi pertanyaan, mengapa saham KPC diincar banyak fihak? Apakah pemerintah provinsi atau kabupaten punya modal cukup besar untuk membeli 51% dari US$ 822 juta, yakni $420 juta? Pasti tidak, dan kalaupun bisa pinjam, maka sebetulnya harus diutamakan kepentingan lain di daerah itu, seperti kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dsb-nya. Kalau pemerintah pusat tidak berminat menjadi investor langsung maka itu sebetulnya itu harus menjadi teladan bagi daerah. Daerah sudah mendapat bagian royalty.

Tahun yang lalu keuntungan bersih KPC sekitar US$ 90 juta. Terhadap nilai saham total $ 822 juta, ini berarti rate of return on equity sekitar 11%, dan inilah yang menggiurkan. Kalau dolar ditaroh di bank maka bunga tertinggi (sekarang) hanya sekitar 3,5%. Inilah sebabnya ada beberapa pelamar. Pelamar yang berlaga kantong tebal adalah swasta, kebanyakan pengusaha non-pri. Mereka itu sering menggandeng jendral pensiun yang tampil di depan. Tetapi, $ 420 juta pun adalah kekayaan yang sangat besar, yang mustahil akan ditanam di satu proyek. Maka swasta dalam negeri itu akan berusaha menggandeng bank, asing atau dalam negeri. Ini pun proposisi yang sangat spekulatip. Mana bank dalam negeri, yang besar-besar praktis BUMN atau diawasi BPPN, yang berani memberi pinjaman sebesar itu, kalau mereka sedang dituntut mendahulukan sektor UKM? Maka ada kemungkinan besar si swasta itu nanti akan nawar-nawarkan hak beli saham KPC, kalau menang, dan baginya yang penting adalah capital gainnya. Walaupun KPC tahun 2001 untung banyak, belum pasti akan terus menerus begitu. Di tahun 2000 saja keuntungannya jauh lebih kecil.

Tetapi, KPC wajib mengadakan divestasi. Lagipula, kontrak aslinya berbunyi bahwa saham yang didivest itu tidak boleh jatuh ke tangan asing. Semuanya ini menjadikan tugas tim gabungan menjadi sulit akan tetapi penting. Citra pemerintah dan lembaga peradilan di mata investor internasional tidak boleh lebih tercoreng lagi. Maka tim harus menekankan prinsip-prinsip transparansi, non-diskriminasi dan sangat mematuhi isi kontrak yang asli. Mungkin tim harus mengadakan fit-and-proper test antara para peminat, seperti terjadi pada kasus penjualan saham BCA. Dalam kerancuan keadaan dalam negeri maka satu-satu norma wajar adalah ‘pegang teguh segala peraturan perundang-undangan’.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar