Selasa, 02 Juni 2009

Sukuk Dari Dalam Negeri

Sukuk tak sekadar alternatif pembiayaan




Harapan cukup besar para pemangku kepentingan industri keuangan syariah nampaknya masih bergelayut di pundak Rahmat Waluyanto beserta tim perumus keberadaan sukuk.Rahmat yang saat ini menjabat Dirjen Pengelolaan Utang Depkeu, telah mengawal keinginan adanya ketentuan sukuk mulai dari pembuatan draf hingga pengajuan ke legislatif.Menyadari kompleksitas lahan investasi syariah tersebut, baru-baru ini, Rahmat pun seakan-akan 'mengingatkan' mitra anggota DPR yang terhormat tentang persoalan pajak berganda dalam sukuk.

Pada berbagai kesempatan dalam beberapa tahun terakhir, rencana penerbitan surat utang negara berbasis syariah serta persoalan pajak syariah merupakan wacana publik yang terus digaungkan praktisi keuangan syariah.Depkeu sebagai instansi yang berwenang bukannya tak peduli dengan keinginan tersebut. Semula, pemerintah berencana mengatur dasar hukum penerbitan sukuk pada revisi UU No.24/2002 tentang Surat Utang Negara dan UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Kedua ketentuan ini memang tidak memperbolehkan pemerintah untuk menjaminkan asetnya, sebagaimana dipersyaratkan oleh obligasi yang berbasis syariah.Rencana revisi UU itu kemudian berubah jadi peraturan pemerintah pengganti UU (perppu), sebelum akhirnya sampai pada putusan untuk mengaturnya dalam UU tersendiri yang terpisah.Perpu sukuk tak jadi diterbitkan karena argumen hukumnya yang menyebutkan definisi keadaan darurat, tidak berhasil ditemukan. Sedangkan pembatalan revisi RUU SUN disebabkan penggodokan SUN berbasis syariah dipandang lama, termasuk di dalamnya pembahasan pemerintah dengan Dewan Syariah Nasional.Apalagi 'jalan buntu' pengaturan penerbitan sukuk juga menyangkut keharusan pembentukan special purpose vehicle (SPV) dan penjaminan aset pemerintah.Jalan tengah pun didapat Rahmat dan tim perumus yaitu menggunakan landasan hukum PP No. 6 tahun 2005 tentang pengelolaan barang milik negara, pasal 80 ayat satu.

Mengacu pada ketentuan tersebut, pemerintah dapat memanfaatkan dana asing tanpa adanya transfer kepemilikan barang milik negara (BMN) karena skema sukuk nantinya menggunakan akad ijarah (sewa). Skema ini membuat sukuk dapat diterbitkan tanpa adanya SPV.Dalam akad ijarah tersebut, DSN MUI (Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia) mengamini bahwa yang disewakan adalah beneficial ownership-nya. Namun, konteks tersebut memerlukan ketentuan yang mengatur sekuritisasi dan pengaturan sub-lease dari investor kepada pemerintah dikarenakan status pemerintah merupakan penerbit (issuer).

Selain itu, pemerintah perlu menunjuk bank investasi yang menjadi wakil investor yang bertugas melakukan perjanjian kerja sama dengan pemerintah.Tapi persoalan pajak berganda itu harus segera diselesaikan. Skema sewa- menyewa memiliki dampak adanya pajak pertambahan nilai ketika wali amanat atau wakil pemerintah menerima hak manfaat atas aset yang menjadi basis jaminan (underlying asset).Apalagi PPN kedua juga terjadi ketika wali amanat mengembalikan hak manfaat aset tersebut kepada pemerintah ketika sukuk jatuh tempo.

Sejauh ini, Rahmat dan timnya cukup berhasil merampungkan RUU SBSN (Surat Berharga Syariah Negara). Tentu bola sekarang di Senayan, tapi anggota Komisi XI Harry Azhar Aziez (FPG) mengatakan RUU SBSN itu dimungkinkan selesai pada semester kedua 2007 dengan catatan pemerintah memberi penekanan khusus kepada RUU tersebut.Keinginan adanya sukuk memang sesuai dengan kondisi saat ini, terutama sebagai penyumbang dana pembiayaan pembangunan maupun sumber investasi lembaga keuangan syariah.Dari sisi pemerintah, jelas kebutuhan dana mandiri dari dalam negeri cukup besar. Emisi surat utang baik konvensional sudah cukup banyak dan sukuk bukanlah sekadar alternatif sumber pembiayaan.Kebijakan pemerintah untuk hengkang dari jeratan IMF dan CGI menjadikan dana masyarakat yang terkumpul di industri keuangan dalam negeri menjadi kebutuhan nyata.Hanya saja, masih tersisa pertanyaan basis investor mana yang dibidik pemerintah? Kalau menilik rencana tenor sukuk yang berkisar satu hingga lima tahun, pemerintah terkesan mengejar dana pemodal Timur Tengah.Sukuk sebagai instrumen keuangan berbasis syariah dinilai merupakan salah satu sumber pendanaan yang paling laris terutama bila investornya dari Timur Tengah yang dibanjiri dana windfall profit seiring melonjaknya harga minyak.

Alasan pilihan investor itu mungkin cocok bila mengacu pada perilaku investor negara petrodolar yang memang tidak mau menyimpan dananya di instrumen keuangan yang berdurasi jangka panjang.Tapi bila bidikan investor hanya pemodal negara Arab, apa tidak terlambat? Toh sudah begitu banyak dana mereka yang menyangkut di negara hub investasi seperti Singapura, bahkan Eropa seperti Jerman.Belum lagi, sejarah dana Timur Tengah yang masuk Indonesia lewat utang luar negeri tak pernah besar. Lihat saja bagaimana Kuwait Fund yang hanya mampir US$60 juta lewat sidang CGI pada dua tahun lalu, sementara pinjaman Saudi Fund tercetak US$6,4 juta pada 2001, lima tahun silam.

Hingga kini tercatat hanya Islamic Development Bank yang aktif menyalurkan dananya ke Indonesia, baik pinjaman (tahun lalu US$83 juta melalui skema CGI) maupun investasi portofolio saham pada Bank Muamalat Indonesia.

Tenor yang sesuai

Karena itu, pemerintah layaknya juga memikirkan tenor yang sesuai dan perluasan basis investor sukuk kepada masyarakat luas seperti penerbitan obligasi ritel Indonesia (ORI) belum lama ini yang cukup sukses.Atau pemerintah juga nantinya bisa menitikberatkan calon investor pada lembaga keuangan dalam negeri seperti bank syariah, pasar modal syariah serta asuransi dan dana pensiun syariah.

Bank Indonesia bahkan sudah mencanangkan tahun ini akan mendukung penuh adanya sukuk sebagai landasan investasi bagi perbankan syariah. Sukuk memiliki imbal keuntungan yang lebih kompetitif dibandingkan Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI).Ketika bank syariah memperoleh tingkat pengembalian yang memadai, maka nasabah perbankan tanpa bunga tentu akan mendapatkan tingkat bagi hasil ekuivalen dan nisbah yang lebih baik bagi simpanan dan pinjaman pembiayaan mereka.

Dahaga sukuk juga dirasakan Dirut PT Syarikat Takaful Indonesia (STI), Wan Zamri Wan Ismail, yang mengeluhkan terbatasnya horizon investasi bagi asuransi jiwa syariah di Tanah Air."Dana pemegang polis saat ini cukup banyak dan mereka menabung untuk masa 30 tahun tetapi kami di perusahaan asuransi tak punya instrumen selain deposito, kondisi ini sangat tidak memadai," kata dia.

Simak juga bagaimana kalangan pelaku pasar modal syariah yang seakan-akan hanya bisa 'mengagumi' pergerakan Jakarta Islamic Index serta segelintir reksa dana syariah dan obligasi syariah yang Cuma bernilai Rp2 triliun lebih."Selama belum ada sukuk, jangan harap instrumen keuangan syariah seperti reksa dana syariah akan berkembang," ujar Adiwarman Karim, Dirut Karim Business Consulting.

Jadi, mari bersama kita tunggu kerja sama Rahmat dan timnya dengan parlemen menyelesaikan RUU SBSN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar